...aku takut kalau aku malah
kepingin. Trus nanti bagaimana,
sedang aku ingin menjaga
perjakaku sampai lulus
sekolahku.
"On, denger nggak?" desaknya.
Aku diam.
"On, aku doain kupingmu torek
seumur umur."
"Eh, aku denger thong!"
"Nah gitu dong. Diajak
ngomong kok cuma diem,
sentil-sentil gitar mulu."
Mungkin dia sebel kali.
"Iya emang siapa yang main,
kok kamu intip?"
"Pak Dwi sama adik iparnya."
"hah! yang bener Thong."
"Kau sudah lihat pak Dwi
pulang saat kau di sana?"
"Sudah ada di rumah kok."
"Bu Dwi kan siang tadi pulang
ke Yogya sama Genduk dan si
kecil, nah pasti malam ini kita
punya malam Minggu yang
panjang, sambil nonton live
show. Jam berapa sekarang?"
Kacau juga nih Kanthong
sohibku.
"Jam setengah sepuluh."
"Wah, pertunjukan pasti sudah
dimulai."
Kami berkemas, kemudian
berangkat 'berburu', istilah
baru yang aku dapat dari sohib,
senjata yang dia bawa 2 buah
jarum kasur.
"Jangan berisik, jangan nafsu,
jangan ..."
"Sudah, mau berangkat apa
tidak?"
"Olesin bagian badanmu yang
terbuka dengan remasan daun
ini, untuk mengusir nyamuk
yang suka ngeganggu orang lagi
asik," dia nyerocos terus.
Sesampai di samping rumah pak
Dwi (bukan yang biasa aku
lewati), tepat di bawah jendela
kamar tengah Aku dan
Kanthong menaruh potongan
kayu nangka yang diambil dari
belakang rumah yang biasa
dipakai duduk-duduk keluarga
Dwi di sore hari.
Kanthong menusukkan jarum
kasur yang dia bawa ke daun
jendela kemudian menariknya.
Ternyata seberkas cahaya
lampu menerobos ke luar. Dia
berikan isarat untuk memegang
jarum dan sesuatu yang
terbawa, kemudian dia
mengambil jarum yang lain dan
melakukan hal yang sama.
Tanpa dikomando lagi aku dan
dia melihat lewat celah yang
ada di depan mata kami.
***
"Ach, mas jangan dimasukkan
dulu, aku belum siap."
"Ngapain tadi Oon datang ke
sini?"
"Ada order ngetik karya tulis."
"Berapa dia mau bayar?"
"Seratus lima puluh ribu
rupiah."
"Ya sudah, nanti aku bantuin
ngetiknya."
Sambil mataku terus mencari di
sebelah mana asal suara di
keremangan kamar yang jelas-
jelas aku kenal suara itu, aku
sambil mengingat-ingat kapan
mbak Nunik minta bayaran Rp
150.000,-. Seingatku dia hanya
mengatakan seminggu lagi pasti
beres. Aku tidak menemukan
jawaban di mataku. Kanthong
membisikkan agar aku lebih
konsentrasi agar bisa melihat.
"Nik, sebaiknya dinyalain aja
ya?"
"Tapi aku malu mas."
"Ah, kau malu seperti baru
pertama kalinya."
Sejenak aku melihat bayangan
berjalan dan lampu menjadi
terang. Aku meneguk liurku
yang kering. Sempurna! Aku
melihat dengan jelas mbak
Nunik tergolek tanpa busana
dengan tetek yang membusung
menantang. Torpedo pak Dwi
mencuat menantang. Dia naik
ke ranjang. Aku lihat dengan
jelas tangannya meremas tetek
kiri Nunik, yang diremas
memejamkan mata sambil
tangan kirinya menggapai
torpedo pak Dwi.
"ough Nik, jangan terlalu
keras."
Ciuman pak Dwi mendarat di
putihnya tetek kanan Nunik.
Oh, bukan ciuman, ternyata
sedotan yang makin lama
semakin rakus melahap tetek
Nunik. Ah, Juniorku ikut-ikutan
mengembang.
"Mas," desahan Nunik sayup-
sayup sampai di telingaku.
Disusurinya belahan dada
Nunik, turun ke perut dengan
tangan kanannya tetap
memerah gunung yang semakin
mencuat. Tangan kanan Nunik
sudah berada di bongkahan
gunung sebelah kanan dan
tangan kirinya menjambak
rambut pak Dwi. Kini aku
melihat betapa rimbunnya
hutan yang berada di
selangkangan Nunik saat kaki-
kaki Nunik membentang.
Kepala pak Dwi menyusup di
antaranya. Aku nggak tahu apa
yang diperbuat. Yang kini aku
lihat Nunik begitu menikmati
sambil kedua tangannya
meremas sendiri kedua
gunungnya.
"Ach mas, aku nggak tahan."
"Sekarang Nik?"
Pak Dwi mengambil sesuatu
dari samping kepala Nunik,
kemudian disobek dengan satu
tangan dan mulutnya. Itukah
yang namanya kondom? pikirku.
Aku tidak tahu gimana cara
pakainya. Yang kini aku lihat
torpedo sudah terbungkus
selaput tipis. Pak Dwi
mengarahkan torpedonya
sambil tangannya
mengangkangkan kedua kaki
Nunik. Hanya sekejap kemudian
hilang tertelan memek Nunik.
pak Dwi diam sesaat. Nunik
membuka matanya sambil terus
memijit puting teteknya yang
mencuat.
"Mas, kita dosa sama mbak
Ning."
"Jangan berfikir dia kalau kita
sedang begini, Nik."
Aku lihat pantat pak Dwi naik
turun ibarat orang sedang
memompa. Cukup lama aku
melihat adegan ini, tiba-tiba
mereka berguling dan Nunik
ada di atas.
"Oh, Nik, nikmat sekali."
...
» Next part
« Previous part