Snack's 1967

...aku takut kalau aku malah kepingin. Trus nanti bagaimana, sedang aku ingin menjaga perjakaku sampai lulus sekolahku. "On, denger nggak?" desaknya. Aku diam. "On, aku doain kupingmu torek seumur umur." "Eh, aku denger thong!" "Nah gitu dong. Diajak ngomong kok cuma diem, sentil-sentil gitar mulu." Mungkin dia sebel kali. "Iya emang siapa yang main, kok kamu intip?" "Pak Dwi sama adik iparnya." "hah! yang bener Thong." "Kau sudah lihat pak Dwi pulang saat kau di sana?" "Sudah ada di rumah kok." "Bu Dwi kan siang tadi pulang ke Yogya sama Genduk dan si kecil, nah pasti malam ini kita punya malam Minggu yang panjang, sambil nonton live show. Jam berapa sekarang?" Kacau juga nih Kanthong sohibku. "Jam setengah sepuluh." "Wah, pertunjukan pasti sudah dimulai." Kami berkemas, kemudian berangkat 'berburu', istilah baru yang aku dapat dari sohib, senjata yang dia bawa 2 buah jarum kasur. "Jangan berisik, jangan nafsu, jangan ..." "Sudah, mau berangkat apa tidak?" "Olesin bagian badanmu yang terbuka dengan remasan daun ini, untuk mengusir nyamuk yang suka ngeganggu orang lagi asik," dia nyerocos terus. Sesampai di samping rumah pak Dwi (bukan yang biasa aku lewati), tepat di bawah jendela kamar tengah Aku dan Kanthong menaruh potongan kayu nangka yang diambil dari belakang rumah yang biasa dipakai duduk-duduk keluarga Dwi di sore hari. Kanthong menusukkan jarum kasur yang dia bawa ke daun jendela kemudian menariknya. Ternyata seberkas cahaya lampu menerobos ke luar. Dia berikan isarat untuk memegang jarum dan sesuatu yang terbawa, kemudian dia mengambil jarum yang lain dan melakukan hal yang sama. Tanpa dikomando lagi aku dan dia melihat lewat celah yang ada di depan mata kami. *** "Ach, mas jangan dimasukkan dulu, aku belum siap." "Ngapain tadi Oon datang ke sini?" "Ada order ngetik karya tulis." "Berapa dia mau bayar?" "Seratus lima puluh ribu rupiah." "Ya sudah, nanti aku bantuin ngetiknya." Sambil mataku terus mencari di sebelah mana asal suara di keremangan kamar yang jelas- jelas aku kenal suara itu, aku sambil mengingat-ingat kapan mbak Nunik minta bayaran Rp 150.000,-. Seingatku dia hanya mengatakan seminggu lagi pasti beres. Aku tidak menemukan jawaban di mataku. Kanthong membisikkan agar aku lebih konsentrasi agar bisa melihat. "Nik, sebaiknya dinyalain aja ya?" "Tapi aku malu mas." "Ah, kau malu seperti baru pertama kalinya." Sejenak aku melihat bayangan berjalan dan lampu menjadi terang. Aku meneguk liurku yang kering. Sempurna! Aku melihat dengan jelas mbak Nunik tergolek tanpa busana dengan tetek yang membusung menantang. Torpedo pak Dwi mencuat menantang. Dia naik ke ranjang. Aku lihat dengan jelas tangannya meremas tetek kiri Nunik, yang diremas memejamkan mata sambil tangan kirinya menggapai torpedo pak Dwi. "ough Nik, jangan terlalu keras." Ciuman pak Dwi mendarat di putihnya tetek kanan Nunik. Oh, bukan ciuman, ternyata sedotan yang makin lama semakin rakus melahap tetek Nunik. Ah, Juniorku ikut-ikutan mengembang. "Mas," desahan Nunik sayup- sayup sampai di telingaku. Disusurinya belahan dada Nunik, turun ke perut dengan tangan kanannya tetap memerah gunung yang semakin mencuat. Tangan kanan Nunik sudah berada di bongkahan gunung sebelah kanan dan tangan kirinya menjambak rambut pak Dwi. Kini aku melihat betapa rimbunnya hutan yang berada di selangkangan Nunik saat kaki- kaki Nunik membentang. Kepala pak Dwi menyusup di antaranya. Aku nggak tahu apa yang diperbuat. Yang kini aku lihat Nunik begitu menikmati sambil kedua tangannya meremas sendiri kedua gunungnya. "Ach mas, aku nggak tahan." "Sekarang Nik?" Pak Dwi mengambil sesuatu dari samping kepala Nunik, kemudian disobek dengan satu tangan dan mulutnya. Itukah yang namanya kondom? pikirku. Aku tidak tahu gimana cara pakainya. Yang kini aku lihat torpedo sudah terbungkus selaput tipis. Pak Dwi mengarahkan torpedonya sambil tangannya mengangkangkan kedua kaki Nunik. Hanya sekejap kemudian hilang tertelan memek Nunik. pak Dwi diam sesaat. Nunik membuka matanya sambil terus memijit puting teteknya yang mencuat. "Mas, kita dosa sama mbak Ning." "Jangan berfikir dia kalau kita sedang begini, Nik." Aku lihat pantat pak Dwi naik turun ibarat orang sedang memompa. Cukup lama aku melihat adegan ini, tiba-tiba mereka berguling dan Nunik ada di atas. "Oh, Nik, nikmat sekali." ...

» Next part
« Previous part