Sebelum aku mulai, ada baiknya
aku ulas pemain sandiwara
dunia yang aku ceritakan nanti.
Untuk menjaga privasi, bagi
pribadi-pribadi yang terlibat --
yang sampai aku tulis ini belum
dimintai persetujuan-- maka
semua nama aku samarkan.
Mudah-mudahan bung Wiro
setuju.
Kanthong, seorang pria kurus
dengan tinggi badan 155 cm,
usil, anak tetangga rumah yang
jadi sohibku sejak kanak-kanak,
sifatnya yang penakut sehingga
jarang sekali melaksanakan
setiap hajatnya tanpa seorang
teman.
Kulit hitam rambut keriting
tampang mirip Rully Nere yang
pemain bola (aku dan dia juga
hobi bola).
Pak Dwi, pria ganteng dengan
tinggi badan sekitar 170 cm,
guru STM Swasta di kotaku,
lulusan FKIP di kota Yogya, kulit
putih, ramah (rajin menjamah;-
p), punya dedikasi tinggi dalam
mengajar (yang aku lihat dari
luar).
Ibu Ning, istri pak guru,
perawakan sedang dengan satu
anak, jadi belum begitu mekar,
kulit sawo matang, muka mirip
Sherly Malinton dan potongan
rambutnyapun seperti dia.
Orangnya supel, enak diajak
bicara, keluaran Universitas
terkenal di kota Yogya jurusan
Teknik mesin, mengajar di STM
Negeri di kotaku.
Nunik, adik bu Guru yang punya
perawakan sintal, dan wajah
mirip sekali dengan kakaknya,
Kelas 3 SMEA Swasta, murah
senyum, mudah bergaul, jarang
terlihat marah.
Genduk, pembantu rumah
tangga pak guru, orangnya
putih, tinggi 155 cm, wajah tidak
cantik tapi enak dipandang,
pengasuh anak yang baik.
Aku, pria dengan tinggi 178 cm
berat badan 55 kg, julukanku si
ceking (maklum krempeng sih),
aku bukan seorang Superman
atau Hercules yang ada di
cerita mimpi, aku dilahirkan
dengan nama Onorus yang aku
nggak pernah tahu apa artinya.
Masa bodo yang penting punya
nama. Aku saat ini baru kelas 1
SMA Negeri yang jauhnya 7 Km
dari rumah Nenekku (rumah
yang aku tinggali).
***
Pagi ini aku sudah
menyelesaikan karya tulisku
yang akan aku serahkan ke
panitia lomba karya tulis ilmiah
di sekolahku.
Seperti biasa, aku jalan kaki
dari rumah ke selter angkot
yang akan membawaku ke
terminal kota G tempat
sekolahku. Aku gunakan jalan
pintas, aku menyeberang jalan
di depan rumahku trus masuk
pekarangan pak Dwi dan lewat
samping rumah pak Dwi
kemudian lewat pinggir-pinggir
rumah orang kampung
Sudagaran. Sekitar 200 meter
melangkah aku lihat Ani
dakocan (abis mukanya imut-
imut kaya boneka) sudah
menunggu aku (kalau sempat
pengalamanku dengan Ani akan
aku tulis nanti).
"Pagi can, gimana tidurmu
semalam, mimpi tentang aku?"
tanyaku setiap pagi saat
bertemu akan berangkat
sekolah.
"Pasti dong, tidurku nyenyak.
Setiap malam dan malam ini
sama dengan malam kemarin,
aku mimpi indah bersamamu,"
sahutnya. Dan kami tersenyum
kemudian tertawa berdua.
Ani, salah seorang sahabatku
dari kelas 1 SD. Jadi di antara
kami selalu ada kemesraan.
Namun kali ini tidak akan aku
ceritakan tentang dia.
Sesampai di selter sudah
banyak teman yang menunggu
angkot. Jam 07.05 wib kami
sudah sampai di sekolah. Tanpa
menyia-nyiakan waktu, setelah
aku ambil karya tulisku, tas aku
masukkan ke laci mejaku dan
aku berlari kecil ke ruang
panitia lomba. Di sana sudah
ada mbak Marlina, yang cantik
(menurutku) yang selalu
menunggu karya-karya tulis
yang akan diseleksi.
"Sudah selesai On, karya
tulismu?" tanyanya.
"Sudah mbak," jawabku sambil
menyodorkan hasil karya
tulisku. Sambil aku menunggu
mbak Marlina membaca
ringkasan karya tulisku, aku
mulai iseng menaksir berapa
besar bra yang dipakai. Ah,
paling nggak lebih dari 34.
[Komentar Wiro: Banyak lelaki
yang salah paham dengan
ukuran bra. Angka 34 bukan
berarti ukuran buah dada, tapi
ukuran lingkar dada. Sedangkan
ukuran buah dada ditentukan
oleh huruf di belakang angka
tersebut (sering disebut ukuran
cup). Huruf A untuk buah dada
yang terkecil (sekepalan tangan
anak SLTP), menyusul kemudian
B (telapak tangan hampir sulit
menutupi seluruh
permukaannya), dan C paling
besar (sebesar buah kelapa, ha
ha ha). Contoh: Buah dada
wanita yang menggunakan BH
berukuran 34A lebih kecil
daripada buah dada wanita
yang menggunakan ukuran BH
34B.]
"Apanya On yang tiga empat?"
Wah gawat nih. Tanpa sadar
aku terloncat kata sambil ...
ยป Next part